Berbeda
tempat berdiri selalu melahirkan istilah yang berbeda walau pada substansi
kegiatannya sama. Perpustakaan dan Taman Bacaan Masyarakat contohnya. Satu
lembaga ada di lahan(jalur) formal dan yang satunya ada di lahan non formal
seperti TBM, rumah baca, sudut baca dll. Bahkan dijalurnya sendiri mereka
memiliki jenisnya masing masing seperti yang tercantum dalam UU Perpustakaan No
43 tahun 2007, ada tiga jenis perpustakaan saat ini yaitu perpustakaan
nasional, perpustakaan umum dan perpustakaan khusus. Demikian juga dengan TBM, sebagimana
tercantum dalam juknis pengajuan proposal TBM Penguatan yang dikeluarkan oleh
KEMENDIKBUD Direktorat PAUDNI, bahwa dari sisi pendanaan ada tiga jenis yang
berkembang yaitu TBM Mandiri dengan pembiayaan dan akte yang berdiri sendiri,
TBM Lembaga dengan pembiayaan dan akte berada dibawah lembaga, serta TBM Publik
dengan pembiayaan awal pendirian dari pemerintah dikisaran 100 hingga 200 juta.
Dalam amatan
saya, perbedaan istilah dan pendanaan yang disebutkan diatas berimbas pada
pelayanan yang diberikan setiap lembaga (TBM dan Perpustakaan). Ada lembaga yang
melayani penggemarnya (pemustaka) sesuai dengan jam kerja dimana lembaga itu
berada, dan ada lembaga yang melayani penggermarnya hingga 12 jam dalam sehari dan
7 hari dalam seminggu hampir tidak mengenal jam kerja. Demikian juga dalam hal regulasi yang
diterapkan, semua tergantung pada lembaganya masing masing. Tentu ini sangat menarik.
Terlepas dari adanya beda layanan dan regulasi,
substansi kegiatan yang dilakukan kedua lembaga tersebut sama persis bagai
pinang tak berbelah (baca; dibelah dua). Kedua duanya bermaksud
meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui serangkaian informasi yang
disediakannya. Melayani masyarakat berbagai kalangan melalui koleksi bacaan
yang dimiliki. Mulai dari koran bekas, buku bekas hingga buku dan koran
terbitan terbaru. Bahkan untuk beberapa lembaga, mampu menyediakan hidangan
internetan gratiss, tentu bagi pemustaka yang menjadi anggota lembaga tersebut.
Bahkan untuk lembaga perpustakaan mereka memiliki program ungulan dengan Mobil
Pintarnya, yang menjemput pembaca dimana mereka berada. Kondisi ini mungkin
tidak ditemukan ditempat lain tetapi dapat ditemukan pada beberapa lembaga yang
ada di Kabupaten Bandung.
Yang
menarik adalah sinergi yang terbangun diantara kedua lembaga tersebut. Saling
mengisi dan bertukar kegiatan menjadi khasnya mereka. Tidak ada kecanggungan.
Ketidakberdayaan pada satu lembaga dalam hal tertentu diisi oleh lembaga
lainnya. Pelibatan seluruh stake holder dalam merancang kegiatan menjadi titik
temu kerjasama. Tidak ada perbedaan dalam melayani masyarakat semua bahu membahu
untuk peningkatan angka melek huruf masyarakat yang menjadi ukuran IPM suatu
daerah. Semoga keadaan ini terus terbangun seiring dengan semakin sadarnya
masyarakat bahwa meningkatkan kemampuan membaca adalah salah satu cara dalam
meningkatkan kesejahteraan dan tarap hidup masyarakat. Salam literasi.
Abdul Holik (Pengelola TBM Arjasari Kab. Bandung)